Membangun rumah
bagi krama bali merupakan suatu kewajiban diawali dengan upacara agama. Sebelum
membangun diawali dengan upacara ‘ngeruak karang’ dilanjutkan dengan acara ‘nyikut
karang’/mengukur lokasi bangunan untuk penempatan posisi antara bangunan satu
dengan bangunan yang lainnya di tempat itu. Umpamanya di pojok ‘ersanya’/timur
laut diposisikan sebagai ‘huluning karang’/tempat utama atau ’utama mandala’ untuk tempat membangun ‘Kemulan Taksu’. Ukuran
posisi tempat bangunan yang dipakai dasar acuan adalah lontar Asta Bhumi,kalau
membangun tempat suci acuannya adalah lontar Asta Dewa.
Selanjutnya apabila posisi
bangunan satu dengan lainnya sudah dianggap pas/sesuai seperti Bale
gede,dapur,sumur, gapura/angkul-angkul,dll.,barulah membuat lubang sesuai
dengan ukurannya menurut Lontar Asta Bhumi,setelah itu barulah dilaksanakan
upacara ‘nasarin/mendem dasar’ tentunya sesuai hari baiknya/’dewasa ayu’,dengan
sarana ‘banten nasarin’ dilengkapi dengan tumpeng merah dan bata merah merajah
bedawang nala,telungah kelapa gading dibungkus dengan kain putih. Kalau untuk
membangun pura bantennya ditambah,bata merahnya ‘merajah’ gambar padma,ditulis ‘dasaksara,batu
hitam ditulis tri aksara dan dilengkapi kewangen bergambar ‘om kara amertha’
dan canang pendeman, semua perlengkapan itu diletakkan diatas banten bata merah
‘bedawang nala’. Bangunan suci dimaksud seperti Kemulan,Taksu,Tugu,Panglurah
dan penunggun karang. Filosofi dari upacara tersebut adalah sebagai simbolis
mewujudkan tempat rumah/karang itu sebagai symbol bhuana agung lingga stana Ida
Bhetara.
Filosofi bata merah dan
tumpeng barak adalah untuk mewujudkan ‘utpeti’ atau mencipta kehidupan yang bahagia
dan sejahtra,gambar Bedawang Nala
sebagai Sanghyang Agni sebagai dasar inti bhumi/pertiwi.
Dalam Reg Weda I.59.2 tersurat
“Muurdhaa divo naabhir agnih prthiviyaah” maksudnya bahwa Agni itu adalah dasar
langit dan bumi ,pada Reg Weda VIII.102.9 disebutkan “Ayam visva abhi sriyo
agnir devesu patyate” artinya Agni itu memiliki kekuatan untuk menghidupkan
dunia. Dengan demikian upacara ‘mendem dasar’ itu sangat sesuai /identik dengan
bunyi sastra tersebut.
Balē tradisional
Bali juga sebagai simbolis Bhuana Agung sebagai tempat untuk membangun
keghidupan yang dilandasi dengan kebenaran dan kesucian,sedangkan huruf bali ‘dasaksara
dan tri aksara’ sebagai symbol kekuatan Ida Hyang Widi Wasa/Tuhan Yang Maha Esa
dalam memberi kekuatan kehidupan di dunia. Itulah sebabnya melalui upacara
nasarin memberi makna bahwa rumah umat
Hindu di Bali tidak hanya berfungsi sebagai tempat tidur semata, tetapi lebih
dari pada itu, yakni untuk mewujudkan harmoni kehidupan dalam membangun rumah
tangga yang didasari oleh kemaha kuasaan Ida Hyang Widi Wasa. Namun apabila
upacara ‘mendem dasar’ rumah itu tidak dimaknai dan dihayati dan disertai
prilaku yang baik dalam kesehariannya,maka ‘ketattwan’/filosofi banten nasarin/mendem
dasar itu tidak mempunyai arti apa-apa. (IKW/BPM/100515/Manix)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar