Sabtu, 09 Mei 2015

FILOSOFI UPACARA ‘MENDEM DASAR’ RUMAH KRAMA BALI



Membangun rumah bagi krama bali merupakan suatu kewajiban diawali dengan upacara agama. Sebelum membangun diawali dengan upacara ‘ngeruak karang’ dilanjutkan dengan acara ‘nyikut karang’/mengukur lokasi bangunan untuk penempatan posisi antara bangunan satu dengan bangunan yang lainnya di tempat itu. Umpamanya di pojok ‘ersanya’/timur laut diposisikan sebagai ‘huluning karang’/tempat utama atau ’utama mandala’  untuk tempat membangun ‘Kemulan Taksu’. Ukuran posisi tempat bangunan yang dipakai dasar acuan adalah lontar Asta Bhumi,kalau membangun tempat suci acuannya adalah lontar Asta Dewa.
Selanjutnya apabila posisi bangunan satu dengan lainnya sudah dianggap pas/sesuai seperti Bale gede,dapur,sumur, gapura/angkul-angkul,dll.,barulah membuat lubang sesuai dengan ukurannya menurut Lontar Asta Bhumi,setelah itu barulah dilaksanakan upacara ‘nasarin/mendem dasar’ tentunya sesuai hari baiknya/’dewasa ayu’,dengan sarana ‘banten nasarin’ dilengkapi dengan tumpeng merah dan bata merah merajah bedawang nala,telungah kelapa gading dibungkus dengan kain putih. Kalau untuk membangun pura bantennya ditambah,bata merahnya ‘merajah’ gambar padma,ditulis ‘dasaksara,batu hitam ditulis tri aksara dan dilengkapi kewangen bergambar ‘om kara amertha’ dan canang pendeman, semua perlengkapan itu diletakkan diatas banten bata merah ‘bedawang nala’. Bangunan suci dimaksud seperti Kemulan,Taksu,Tugu,Panglurah dan penunggun karang. Filosofi dari upacara tersebut adalah sebagai simbolis mewujudkan tempat rumah/karang itu sebagai symbol bhuana agung lingga stana Ida Bhetara.
Filosofi bata merah dan tumpeng barak adalah untuk mewujudkan ‘utpeti’ atau mencipta kehidupan yang bahagia dan sejahtra,gambar Bedawang Nala  sebagai Sanghyang Agni sebagai dasar inti bhumi/pertiwi.
Dalam Reg Weda I.59.2 tersurat “Muurdhaa divo naabhir agnih prthiviyaah” maksudnya bahwa Agni itu adalah dasar langit dan bumi ,pada Reg Weda VIII.102.9 disebutkan “Ayam visva abhi sriyo agnir devesu patyate” artinya Agni itu memiliki kekuatan untuk menghidupkan dunia. Dengan demikian upacara ‘mendem dasar’ itu sangat sesuai /identik dengan bunyi sastra tersebut.
Balē tradisional Bali juga sebagai simbolis Bhuana Agung sebagai tempat untuk membangun keghidupan yang dilandasi dengan kebenaran dan kesucian,sedangkan huruf bali ‘dasaksara dan tri aksara’ sebagai symbol kekuatan Ida Hyang Widi Wasa/Tuhan Yang Maha Esa dalam memberi kekuatan kehidupan di dunia. Itulah sebabnya melalui upacara nasarin memberi makna bahwa rumah  umat Hindu di Bali tidak hanya berfungsi sebagai tempat tidur semata, tetapi lebih dari pada itu, yakni untuk mewujudkan harmoni kehidupan dalam membangun rumah tangga yang didasari oleh kemaha kuasaan Ida Hyang Widi Wasa. Namun apabila upacara ‘mendem dasar’ rumah itu tidak dimaknai dan dihayati dan disertai prilaku yang baik dalam kesehariannya,maka ‘ketattwan’/filosofi banten nasarin/mendem dasar itu tidak mempunyai arti apa-apa. (IKW/BPM/100515/Manix)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar