Rabu, 24 September 2025

Rapat Persetujuan Pemberhentian Klian Banjar Dinas Tegenan

Tegenan, Desa Menanga —24 September 2025, Bertempat di pelataran Pura Dalem Putra, telah dilaksanakan rapat penting yang membahas kepastian persetujuan krama (warga) terkait pemberhentian Klian Banjar Dinas Tegenan, I Gede Tangkas. Rapat ini dipimpin oleh Kepala Desa Menanga yang diwakili oleh Plt. Klian Banjar Dinas Tegenan, Ni Wayan Sulandri.

Dalam rapat tersebut, Ni Wayan Sulandri menyampaikan permintaan tegas kepada seluruh krama untuk memberikan kepastian dan persetujuan secara serempak mengenai pemberhentian permanen I Gede Tangkas sebagai Klian Banjar Dinas Tegenan. Hal ini terkait kasus dugaan penggelapan dan penyerobotan tanah milik warga yang saat ini masih dalam proses hukum.

Turut hadir dalam rapat tersebut antara lain perwakilan dari BPD Desa Menanga yang juga Bendesa Desa Adat Tegenan I Ketut Wana Yasa beserta tokoh masyarakat lainnya. Dalam penyampaiannya, I Ketut Wana Yasa menjelaskan kronologi serta proses hukum yang sedang dihadapi oleh I Gede Tangkas, termasuk telah dikeluarkannya surat rekomendasi pemberhentian sementara oleh Bupati Karangasem. Namun, karena belum ada putusan hukum yang inkrah (berkekuatan hukum tetap), maka status pemberhentian masih bersifat sementara.

Meski demikian, demi kepastian pelayanan administrasi di Banjar Dinas Tegenan, warga diminta untuk menyatakan sikap dan ketegasan:  sekali lagi saya selaku BPD bertanya,Apakah warga yakin dan setuju untuk memberhentikan Klian Dinas secara permanen?. Pertanyaan tersebut dijawab serempak oleh warga dengan pernyataan tegas: “Yakin dan harus diberhentikan.”

Warga berharap agar segera diangkat Klian Banjar Dinas yang definitif, guna menjamin kelancaran pelayanan surat-menyurat dan urusan administratif lainnya di wilayah Banjar Dinas Tegenan.

Rapat berlangsung dengan lancar dan kondusif. Keputusan warga ini diharapkan menjadi dasar kuat bagi Pemerintah Desa dalam mengambil langkah berikutnya sesuai prosedur hukum dan administratif yang berlaku.(manixs)



Minggu, 21 September 2025

“Werdhi Sesana ,Kita Jaga Alam, Alam Jaga Kita dari Blar Blar Blar”

Karangasem ,18 September 2025– Sekaa Teruna (ST) Werdhi Sesana Banjar Adat Tegenan Kelod melaksanakan kegiatan gotong royong bersih lingkungan dengan tema "Kita Jaga Alam, Alam Jaga Kita dari Blar Blar Blar", pada Minggu pagi, dimulai pukul 07.30 WITA.

Aksi bersih-bersih ini dimulai dari depan Balai Desa Adat Tegenan menyusuri Jalan Raya Besakih hingga ke Permandian Lembah Arca dan Pura Gua Gala-Gala, dengan jarak tempuh sekitar 2 kilometer. Dengan peralatan sederhana seperti kampil (karung), para peserta berhasil mengumpulkan hampir 7 kampil sampah plastik.

Sayangnya, di sepanjang rute ditemukan banyak sampah plastik seperti bungkus snack dan yang lebih memprihatinkan, popok sekali pakai (pempers) yang dibuang sembarangan ke saluran got. Hal ini menunjukkan rendahnya kesadaran sebagian masyarakat terhadap pentingnya menjaga kebersihan lingkungan.

“Kalau hujan turun, apalagi lebat, saluran tersumbat, banjir pasti terjadi. Pemukiman hancur, saling salah-salahan, saling menghujat. Terus yang benar siapa? Mestinya kita mawas diri, jangan cari kambing hitam,” keluh Ketua ST. Werdhi Sesana, I Wayan Puspa Yoga S.Pet, yang juga sedang menempuh pendidikan S2.

Lebih lanjut, ia menyoroti perilaku masyarakat yang masih membuang sampah sembarangan, bahkan dari mobil mewah maupun diam-diam di malam hari. Ia menekankan pentingnya tanggung jawab pribadi terhadap sampah yang kita hasilkan.

Usai kegiatan, Made Agus Suciarta, pengelola Permandian Lembah Arca, sebagai sponsor kegiatan, memberikan snack gratis kepada seluruh peserta sebagai bentuk apresiasi.

Turut hadir dan memberikan dukungan dalam kegiatan ini adalah Klian Banjar Adat Tegenan Kelod, I Wayan Suiji. Dalam arahannya, beliau menyampaikan rasa bangga dan terima kasih kepada ST. Werdhi Sesana atas inisiatif menjaga kebersihan lingkungan.

“Apa yang dilakukan anak-anak ST ini adalah bentuk yadnya terhadap semesta. Kalau kita baik pada alam, maka alam pun akan bersahabat dengan kita. Saya mengimbau kepada para orang tua agar terus memotivasi anak-anaknya untuk aktif dalam kegiatan positif seperti ini,” ujarnya.

Kegiatan ini diharapkan dapat menjadi contoh dan penyemangat bagi masyarakat lainnya untuk lebih peduli terhadap lingkungan demi masa depan yang lebih baik.(manixs)






Jumat, 29 Agustus 2025

KEPERGIAN MENDADAK PAK NOEKARSI YANG DIKENAL ULET DAN BAIK HATI

Di sebuah desa kecil yang damai, duka tiba-tiba menyelimuti keluarga sederhana dari seorang tukang bangunan bernama Noekarsi. Sosok yang dikenal rajin dan bersahaja ini meninggal dunia secara mendadak pada dini hari, padahal baru kemarin sore ia masih terlihat sehat dan semangat bekerja membangun rumah tetangga.

Pak Noekarsi meninggalkan seorang istri, Miyut, dan tiga orang anak yang masih membutuhkan banyak bimbingan. Anak sulung mereka, Selvi, baru duduk di kelas X SMK jurusan kuliner. Adiknya, seorang siswi kelas V SD, dan si bungsu, seorang anak laki-laki yang baru berusia tiga tahun. Kehilangan ini terasa sangat berat bagi keluarga kecil ini, terlebih karena Pak Noekarsi selama ini adalah tulang punggung keuarga mereka.

Peristiwa duka itu terjadi pada pukul 03.15 pagi. Pak Noekarsi tiba-tiba mengeluh sesak napas yang hebat. Ia terbangun dalam kondisi tersengal-sengal, sulit bernapas. Miyut yang panik segera meminta bantuan warga dan membawa suaminya ke puskesmas terdekat. Namun, takdir berkata lain. Setibanya di puskesmas, nyawa Pak Noekarsi tak dapat diselamatkan. Hari itu juga, ia dimakamkan dengan penuh duka di pemakaman desa.

Malam harinya, rumah duka dipenuhi warga desa. Semua berkumpul, turut berbelasungkawa, menemani keluarga yang sedang berduka. Suasana begitu haru. Banyak yang tak kuasa menahan air mata, terlebih melihat kondisi Miyut dan ketiga anaknya. “Kasihan dia, harus kuat mengurus tiga anaknya sendirian,” ujar  Pak Wahono, kepala desa, dengan nada prihatin.

Di antara para tamu malam itu, hadir pula seorang tokoh desa yang sangat dihormati, Ki Manteb, seorang tumenggung desa. Ia memanggil Selvi, si sulung yang sejak pagi tak berhenti menangis. Dengan suara tenang namun penuh wibawa, Ki Manteb menasehati Selvi. ....“Nak Selvi, kuatkan hatimu. Memang berat, bapakmu sudah pergi dan tak akan kembali. Tapi kamu harus bangkit. Kamu adalah yang paling besar sekarang. Kamu harus menjaga ibu dan kedua adikmu. Jangan menyerah. Teruskan sekolahmu. Aku dan group Braya Santhi akan membantu membayar biaya sekolahmu sampai kamu lulus. Tapi kamu harus janji untuk rajin belajar dan menjadi anak yang berguna.”

Selvi mengangguk pelan sambil menyeka air matanya. Suasana malam itu penuh keheningan, namun juga mengandung semangat baru. Duka masih terasa dalam, tapi harapan mulai tumbuh kembali di tengah keluarga yang ditinggalkan.

Catatan:
Cerita ini adalah kisah nyata yang mengandung nilai ketegaran, kepedulian sosial, dan semangat gotong royong yang masih kuat hidup di tengah masyarakat desa. Semoga menjadi inspirasi bagi siapa saja yang membacanya, bahwa dalam musibah selalu ada cahaya pengharapan.(manixs)

Minggu, 17 Agustus 2025

TATACARA MEMANDIKAN JENAZAH/LAYON

 Om Swastyastu,

Urutan Nyiramang Layon:

  • Pertama-tama rambut sawa dikramasi dengan ambuh(yeh bejekan daun pucuk). Setelah itu rambutnya disisir, lalu dibersihkan dengan air biasa, rambutnya kembali disisir diberi minyak wangi, Mantra:OM banyu kelamukan banyu patra, pamunah papa klesa danda upata ya namah swaha.
  • Gigi sawa  dibersihkan menggunakan sigsig, Sigsig adalah terbuat dari jajan begina yang dibakar hingga menjadi arang, inilah yang dipergunakan untuk membersihkan gigi sang layon/sawa.Mantra:Om Waja suddha spathika dhanta ya namah swaha.
  • Tubuh diurapi dengan beblonyoh/parem(bedak/boreh) yang bahannya dari beras,terdiri dari dua macam beblonyoh, berwarna kuning dan berwarna putih, yang putih diurapkan pada tubuh bagian atas dan yang kuning diurapkan pada tubuh bagian bawah, lalu disiram dengan air biasa, serta dengan air kumkuman mewadah bonjor dari hulu 1 dari teben 1 ,Mantra: Om Paripurna ya namah swaha.
  • Tubuh layon yang masih basah dikeringkan dengan handuk serta disasapi dengan benang tukelan, Mantra: Om Pretama sudha, dwityasuddha,triti suddha, caturti suddha,suddha,suddha wari astu ya namah.
  • Seluruh tubuh layon digosok dengan Sikapa, yaitu umbi gadung yang telah dikupas kulitnya, setelah digosokan dibuang dibawah kolong tempat memandikan layon. Mantra; Om Sikapa pamulune sang sampun lampus lempung lembut ya namah.
  • Telor. Dari kepala hingga ke kaki di gelindingkan/digulirkan sebutir telor ayam, lalu telor ayam di buang dibawah kolong tempat memandikan layon. Tujuannya untuk menghilangkan sagala mala traya sang Pitra.Mantra; Om Anda pamarisuddha sarwa bhuta ya namah.
  • Mawastra/mabusana, layon/sawa dipakaikan busana layaknya orang hidup,setelah selesai dipakaikan busana, letakkan rantasan pada dada layo, canang sari serta kawangen berisi uang kepeng 11 kepeng,sebagai sthana Sang Hyang Atma.
  • Setrelah selesai memakai busana selengkapnya ,lalu dipercikkan tirtha Pabresihan, Bayakaon dan semua banten pengresikan yang telah disediakan, lalu percikkan tirtha panglukatan, setelah selesai memercikan tirtha panglukatan,dibawa kesekenem (kalau mepenanjen) diteruskan dengan menyuguhkan banta saji/tataban yang telah tersedia, sesudah selesai natab lalu dipercikkan tirtha Kamulan. Setelah itu baru paratisentana/keluarganya menghaturkan sembah sujud kehadapan sang Pitara. Hendaknya dalam melaksanakan sembah sujud kehadapan sang Pitra dipimpin oleh seorang Pinandita/Manku. Tatanan Sembah Bhakti 1. Puyung, 2, Ke Surya, 3.Kemulan-kawitan Ke Prajapati, 4 ke Sang Pitra(kwangi dikupmulkan). 5,Puyung.

            Setelah semua keluarganya melakukan sembah sujud kehadapan sang Pitra, barulah dilanjutkan dengan memasang alat-alat(eteh-eteh) pangringkesan;

 

TATANING PANGRINGKESAN LAYON.

  • Gegalengnya yang terbuat dari byukayu 9 biji,jinah gegaleng 225 keteng, carang dapdap 3 tugel/potong, lalu diikat dengan benang selem, dipasang/ditaruh dibawah kepala.

·       Daun intaran ditaruh di kedua alis layon.

·       Kaca/meka ditaruh pada kedua mata layon.

·       Pusuh menuh ditaruh pada kedua lubang hidung layon.

·       Malem ditaruh pada kedua lubang kuping layon.

·       Waja pada gigi layon.

·       Sari kuning pada pipi layon.

·       Buah pala pada bahu kiri dan kanan layon.

·       Katik cengkeh pada dada kanan layon.

·       Jebugarum pada dada kira layon,

·       Masuwi pada hulu hati layon.

·       Kawangen berisi daun dapdap 2 muncuk,uang kepeng 11 kepeng,diletakkan pada ubun-ubun menghadap kebawah.

·       Kawangen berisi daun dapdap 2 muncuk uang kepeng 11 kepeng, diletakkan pada tengah-tengah susu(selagan susune),mengahadap keatas.

·       Kawangen berisi bunga tunjung serta uang kepeng 9 kepeng,diletakkan pada hulu hati menhadap keatas.

·        Dua buah kawangen berisi pusuh bunga cempaka putih 5 biji, uang kepeng 5 kepeng pada tiap-tiap kawangen diletakkan pada jari-jari tangan.

·       Dua buah kawangen brisi pusuh bunga cemapaka kuning 5 biji serta uang kepeng 5 kepeng pada tiap-tipa kawangen,diletakkan pada jari kaki.

·       Kawangen berisi uang kepeng 11 kepeng tiap-tiap kawangen diletakkan pada sendi-sendi(buku-buku).

·       Permata mirah (momon) diletakkan pada mulut layon.

·       Pagemalan diletakkan pada kedua tangan layon. Serta kukunya  tangan dan kakinya di kerik.

·       Setelah semua piranti pangringkesan terpasang,pada muka(prerai) layon ditutup dengan kain putih yang sudah ditulis(dirajah) sebagai panekep mukha, setelah itu lalu dilanjutkan dengan memercikan tirtha pangrikesan. Setelah itu layon/sawa lalu dibungkus dengan daun pisang Kaikik serta kain pengulungannya, kalau laki-laki menutupnya dari kanan, kalau perempun menutupnya dari kiri, setelah itu lalu digulung dengan Ante, ditutup dengan kain putih,setelah itu baru dimasukkan kedalam peti mati. Diatas peti di letakkan kain leluwur yang dipakai pada saat nyiramang layon

Pengaksama saking Klian Banjar Adat

Pengaksama (riwayan hidup-meninggal),memohonkan maaf saking Kulawarga lan doa

Persiapan Ke setra,nyalakan prakpak--->Jalan

TATANAN NGEMARGIANG TIRTHA PENGENTAS RING SETRA.

Pertama-tama layon diturunkan pada tempat pembakaran/pemalungan, lalu dientas dengan pisau pengentas sampai kelihatan layonnya, setelah itu turunkan kajang, letakkan diatas layon lalu entas dengan pisau pengentas, lalu kajangnya di buka, setelah itu letakkan adegannya dihulu kajang/layon, Ponjennya letakkan ditengah2/dada. Serta Panetehnya di letakkan di atas perut.

Setelah semuanya sudah diletakkan barulah memulai dengan memercikan/nyiratang tirtha, diawali dengan tirtha Panembak, diteruskan dngan tirtha pinunas ring Mrajan, Ibu, Panti,Kawitan dan diteruskan dengan tirtha Prajapati serta tirtha Dalem Kahyangan, setelah semua tirtha pinunas dijalankan barulah terakhir dipercikkan/siratan tirtha Pengentas, setelah selesai barulah memulai pembakaran layon, di barengi dengan doa oleh keluarga dan masyarakat.

Sekianlah tatacara membersihkan sawa/layon dan tatacara Pengringkesan sawa/layon serta tatanan ngermargiang tirtha Pangentas yang dapat saya persembahkan. Semoga adan manfaatnya bagi kita semua didalam melaksanakan kewajiban kita sebagai umat Hindu.

 

OM   Sathi   Santhi    Santhi     Om

Penyunting :Manixs. 

 

Nara sumber : Ida Pandita Mpu Jaya Wijayananda.

Griya Kutuh-Kuta.

WAYANG DUE SANGHYANG WENANG KEMBALI KE HARKATNYA

OM Awighnmastu Namo Siddham.
Iki ketusan Lontar Barong Swari

Nyan katuturaning kuna, duk patemonira Bhatara Guru lawan Bhatari Uma. Yan pira ta kunang lawasira ya ta matemu, maputra Bhatara Kumara. Sukha twasira Bhtara Guru, nanghing Bhatari Uma brahmantya twasira, reh putrane rahina wengi angikuti guru, tan kena inemban dening Hyang Ibu, kewala ring masusu juga, ri huwus anginum susu, juga angikuti ring guru.
Reh mangkana polahnya sadina-dina, dadi duhkha Bhatari Uma, raris kapungsang-pangsing Bhatara Kumara, sinambi sira anyuswi siranganak. Swireh duhkhane kalangkung kanti magambahan ida Bhatari Uma, anghing Bhatara Kumara kedeh manyusu.

Ri kanjekan samangkana dateng sira Bhatara Guru, lumihat ikang stri kaya ulahing kala, tan anut ring dewa, dadi duhkha Bhatara Guru, mojar lwir bregala :
“Uduh mingkéné ambekta lwir karaksasan buddhinta atyanta durga. Apan karaksasan dudu polahing déwa, lah uminggata sira mangke”, mangkana ling Bhatara Guru. Dadya minggat Bhatari Umadewi, sah saking swarga, prapta maring madhyapada, umungsi desa sunya, ri madhyaning wana. Hana wandhira mageng, maipak pangnya, rwanya mangreneb. Irika ta sira anangis, luhnya manrawang, susunya mijil we, ameles ring lemah, ika maletik dadi pisang saba, maka mretaning rare.

Yan pirang dina ta sira manastapa, mangke angen-angen sira mangadakaken kadatwan, tan bina sama ring swarga.
Mangkana ta sira Bhatari Uma mangaran Bhatari Rohini. Mayoga ta sira saking yoganira, mijil ki danuja, wil, dete, jin, setan, hala-hala, raregek tunggek, anja-anja, sungsang hulu, kumangmang, njek pupu, tangan-tangan, togsil, hulu alit, basang gatul, papengkah katekaning kuplak-kaplik, linyik, lawan sumprang-sampring, ika padha angemit kadatwan Bhatari Rohini.
nimitanyan tenget ring alas ika, tan hana wani praptengkana, apan Bhatari Rohini rupanira kadi durga, plosonya sawlat salit, siyungnya mangambah-ambah roma. Asekel manahira, apan tan neher anemu Bhatara Guru.

Yan pirang dina lawasnya katekanan wastu jhah tasmat. Iki wuwusing brahmantya. Nengakena.
Mwah ta sira mangke, tucapa Bhatara Guru, ya ta mangguri anaknira Bhatara Kumara, sari-sari aminta susu, kandugi rinuruh rawuhing swarga, anghing tan hana kapanggih. Sayan krodha pwa sira Bhatara Guru. Sira Bhatara Kumara inenahaken ring palangkiran, ring luhuring pangayunan. Dadya menget Bhatara Guru lawan Bhatari Uma, i nguni olih anapa, mangke tumuruna sira ring madhyapada. Bhatara Guru amalih rupa ya ta matemahan Kala Rudramurti. Wawu ta dateng ring madhyapada, katemu Bhatari Rohini, sedeng tinangkilan ring pangajyanira nguni. Dadya mojar sira karo, Bhatara Guru lawan Bhatari Rohini, padha kala pwa sira, padha sinusupi dening kadurgan. Padha wenang pwa sira ngipuk sadina mangaras hana mangangsur. Mwah kalanya mawijah ka purwa kang wong katekanan dening muntah ring purwa, ring daksina runtik kang bhuwana. Mwang ring kulwan sira mangipuk, sapascima wong katekanan gering mancuh. Yan ring lor Bhatara Guru mageguyon ring Bhatari Rohini, sa utara kang wong kena gering lumintu, gering ngalemayung. Apan mangkana, manastapa sawatek janapada, sabran dina hana wong pejah. Gering esuk sore pejah, gering sore esuk pejah.

Wus mangkana mangke umulata sira Bhatara Tiga, kapiwelasan tumon ring wong pejah, lawan ikang wong agering. Awas ira pada dresta wilaya. Mangke amangun ta sira, hana ngaran : BARONG SWARI , nimitanyan samangkana Bhatara Tiga, anggaweya Bhatara Guru purna lawan Bhatari Rohini. Ida Bhatara Brahma, mangdadi Topeng Bang, Bhatara Wisnu mangdadi Telek, ida Bhatara Iswara mangdadi Barong, sangkanyan hana mangaran Barong Swari. Ya tika padha masolah, ring madhyaning Catuspatha, sabilang pempatan mwang patigayan, sira masolah, sira anggaweya kalanduhaning negara. Dadya kares-res watek bebhutane kabeh, kang angemit Bhatari nguni, pada angili pwa sira, ka pantaraning suket.

Ika marmitanya hana desa tenget, apan inumahan dening babhutan, sawetning tumon ring Bhatara Brahma mangdadi Topeng Bang, Bhatara Wisnu mangdadi Telek, Bhatara Iswara mangdadi Barong Swari. Solahe padha pangus mangilag-mangileg. Wus mangkana mangke weruh sira Bhatara Guru Rudramurti. Antyan garjitanira masolah lawan Bhatara Brahma, dadya lindu kang ksiti, ocak ikang segara. Manastapa wonging Madhyapada, ri tekaning gering anggeruh, bhaista kadulun den Bhatara Brahma, tiningkahing wong yan karasa durung waneh ta sira Bhatara Guru atemu lawan Bhatari Uma, padha kalanen, pada Kala rupa.

Mangke kahyunira Bhatara Brahma maletana, surudana pwa warnaning Bhatara-Bhatari, dadine wurung marupa Kala-Kali, raju sira angamet walulang, ya ta rineka rininggit-ringgit.
Sighra ta pascat Bhatara Brahma, anggawe ya ringgit, raju mangadakaken manusa luwih, wetu sakeng Bhatara Brahma, ingaranan Ki Dalang Kakung, ika kinon mangigel. Mangke Ki Dalang Kakung mangawayang, hana ring Bale Panggung, kasolahang olih apuy manguntik, kinajnan dening Bhatara Brahma ring agni, Hyang Wisnu lelampahan, ucape wewehan Bhatara Iswara, hinayonan dening Hyang Samirana. Antyan kaprakasa galak manis, tingkahing wayang.
Iti tegesing Dalang Kakung, lwirnya : dalang, ngaran ngawijilang, da, ngaran dadi, ngaran urip, di ngaran lewih, dalang ngaran dasar, ngaran wadah, wadah ngaran umah, ngaran kadatwan, nimittanyan hana Dalang Kadaton. Tegesing lang, ngaran langkung, ngaran liwat, ngaran lewih. wenang ta sira anglangkungi sabda hala-hayu, wenang ta sira anglewihi sabda hala-hayu, mwang maka daginging kakung, ka, ngat kaliwat, kung ngaran smara, smara ngaran wulangun. Mwang tegesing wayang, lwirnya, lwirnya : wayang ngaran lawat, ngaran lemah.
Wayahang, suksmayang, sukma ngaran pingit, nanghing wenang pada pagurwang, salwiring gegunan wenang paguruang.

Wus ika, dadi sukha twasira bhatara-Bhatari anonton tingkahing ngawayang, hilang karaksasanira maka rwa, luwir sinapuhan, ening tan pateletuh, tan hana hala Bhatara Guru lawan Bhatari Uma. dadalanya mangkana kalewihan Ki Dalang Kakung, didine wenang angutpeti Taksu, Bhatara Siwa ta sira wenang sinunganing Sang Amangku Dalang. Da ngaran dadi, di ngaran lewih. wenang ngarcana weda, wenang apeprucut, wenang anglukata wang salah wetu, ring wuku lawan dina. Wenang asangku tembaga, asamayut benang tukelan, asesinggel jinah satakan, panugrahan Bhatara Guru lawan Bhatara Brahma mwang watek dewatane kabeh. Ling ira Bhatara Guru : “Ih, nanak Hyang Brahma, antyan sukha ta Hyang mami, wicaksana ta sira nanak Hyang Brahma, akarya purnaning sarira, hilang lara hilang letuh, masarana Ki Dalang kakung, mangke kami malaku lukatan, olih sira nanak Hyang Brahma, didine age sira maka rwa pamuliha maring Siwalaya”.

Matur sira Bhatara Brahma : “An amwit ranak Bhatara anglukata Guru, wenang kaki Bhatara Tunggal”. Tumuli sira Hyang Tunggal pada sira manunggal. Irika ta asih ta sira Hyang Guru amalaku lukatan. Mahyun ta sira Hyang Tunggal yan manglukata. Mangke Sanghyang Tunggal, mangaran sira ta sira Sanghyang Guru Tunggal. Mwah sabdanira Sang Hyang Guru Tunggal : Uduh ta sira Hyang Siwa Guru, mangke konakena mangunakan samadhi, idering pwa kang bhuwana anuhuta sukuning Sumerugiri, sawalan ring sapta dina. Anuhun ta Bhatara Guru, angideri kang bhuwana, hana ring sukuning gunung. Malesat Bhatara Guru ring purwa, sira Sang Hyang Guru Tunggal sampun ring purwa. Hyunira mintoni mwah Bhatara Guru anemwa waringin, agung aluhur maring tengahing marga, tan wenang linimpasan, ika lagya sinembah de Hyang Guru Siwa, hilang. Mwang ta Bhatara Guru maring kidul, hana ta kapangguh matoya, ngaran manjangan, majiwa-jiwa lawan Bhatara Guru, juga sinembah de Hyang Guru, hilang kang matoya. Mwang kalaniran maring kulon, anemu pwa sira roma asawit angebeki, raju sinembah de Bhatara Guru, hilang kang roma asawit. Ring uttara hana ta watu mageng kapangguh de Hyang Guru, taler sinembah, cet hilang kang sila.

Wus mangkana mangke tutug sapangideran, sawulan ring sapta dina, kancit dateng ta Hyang Guru Tunggal. Mawuwus ta Bhatara Guru, ling ira : “Uduh kang paran kapangguhang de mami, antyan kagegawok ranak Bhatara, anemu ranak Bhatara, hana wandhira, hana matoya mwang kesa tunggal, hana watu mageng, ika kabeh sinembah dening ranak Bhatara”.
Mojar ta Sang Hyang Tunggal : Lah umeneng ta sira, yan ring dlaha, ya iku wenang sinembah dening manusane kabeh, idepannya anyembah Siwa Guru. Yanya amangun Pura, angadegang Widhi, wenang ngadegang Sanggar Agung, wenang ngadegang Rambut Sadhana, angadegang Manjangan Salwang, wenang Purane nyanding waringin, mwang kadatwan sang araja, anyanding waringin.

Yan hana manusa pada anandur waringin, yan nora awidhi widhana, kadi kramaning rare metu, nora wenang, cendet tuwuh phalanya. Duh, AH UM, nanak Hyang Siwa Guru, wus alukat pwa sira, mangke wenang umantuka maring Siwalaya, lawan ta sira Bhatari Uma. Wus mangkana telas umiring sirang dewata, Bhatari Uma umantuk pada umungsi swarga. Sira Bhatara Hyang Tunggal anusuping tan hana mwang Bhatara Brahma, anusup ring madhyaning tahen. Nengakena ikang katha.

Mwang Ki Dalang Kakung kari ring lemah, sangka yan anaknya ngaran; Ki dalang Kadaton. Duke makereb ring Bale agung, binaywan de nira Hyang Anila. Doning mangkana, hana inaranan Dalang Samirana, anake olih Ki Dalang Buricek, anak Ki Dalang Kadaton malih Ki Dalang Banyol, Dalang Kakung Tunggal. Da, ngaran lewih, ngaran kalangkung, ngaran kamimitan. Kung, ngaran sara, ngaran ngulangunin, ulangun, ngaran sakarsa. Sang atapa mangalap tingkahing maranta wenang, didine akamulan budi sunya, kakung mimitan demen, ika pada katurunang ka Bali, ngaran guna asta kosala, kawite saking Wilwatikta, maka lwiranya : undagi dalem, leluwes agung, sangging prabangkara, juru igel, tukang, dalang kadaton. Ika pada ngupeti taksu, jatinya ika guna, tan wangsa.

Telas. 

Berdasarkan kontek lontar Barong Swari diatas,maka tepatlah para leluhur di Desa Adat Tegenan khususnya di Banjar Adat Tegenan Kelod sebagai cikal bakalnya Desa Adat Tegenan,mewujudkan pelawangan-pelawangan yang terkait dengan konsep lontar Barong Swari,dimana di Pura Dalem Putra Desa Adat Tegenan oleh leluhur zaman dulu didirikan seka telek dan jauk/topeng bang serta segedog wayang kulit yang dikordinir oleh Ida Hyang Dalang Sumarka,Jero Putus,Jero Ngandeng kemudian ada Barong Bangkung dan ada juga petapakan rangda di Prajapati,namun seiring waktu semuanya sirna dimakan usia tak terpelihara ,lapuk dan lenyap hanya tertinggal keris telek dan wayang Sanghyang Wenang yang mempunyai nilai magis masih utuh sampai saat ini. Seiring berpulangnya tokoh pendiri kesenian tersebut,maka atas petunjuk Sesuhunan semua petapakan tersebut direstrukturisasi dan diwujudkan kembali oleh Klian Banjar Adat Tegenan Kelod Mk.Manik Puspayoga bersama masyarakat Banjar Adat Tegenan Kelod mulai dari mewujudkan topeng bang/jauk dan telek kerisnya sudah dikembalikan oleh yang membawa,kemudian ngadegang Barong Bangkung di Pura Tulak Tanggul dan ngadegang Petapakan Rangda di Prajapati dan hari ini Sabtu Klion Wayang,16 Agustus 2025 duwe segedog wayang kulit yang telah dipelihara dan direnovasi oleh Jero Dalang Sumarka(alm) dan dilanjutkan oleh cucunya yaitu Jero Dalang Sujata ,dengan iklas dikembalikan keharkatnya sebagai duwe Ida Bhetara Dalem dengan prosesi upacara mapiuning di rumah Jero Dalang Sujata,lanjut pemendakan ngulap ngambe,nuntun di Jaba Pura Dalem, kemudian prosesi murwa daksina dan melinggih di samuan,matur piuning ring Ida Bhetara Dalem oleh Jero Mk.Dalem,lanjut piodalah wayang oleh Jero Dalang Sujata,persembahyangan bersama,ngingsirang ke gedong simpen dan ngelinggihang dengan sayut pelinggih dan ngaturin bakti pejati hingga selesai.disaksikan oleh Jero Bendesa Desa Adat Tegenan,Kerta Desa dan Sabha Desa. Klian Banjar Adat Tegenan Kelod,Mk.Manik memaparkan sejarah wayang dan usaha pelestarian seni budaya yang ada di Br.Adat Tegenan Kelod sebagai wujud bakti dalam mengimplementasikan sradha bhakti kehadapan Ida Hyang Widhi Waca khususnya Ida Bhetara Dalem,semua duwen Ida Bhetara diharapkan bisa kembali kalau masih disimpan di rumah penduduk,karena ila ila dahat memegang duwe yang bukan miliknya,saya berharap pertisentana dengan legowo mengembalikan pada harkat benda sakral tersebut,seperti uang gombang,sri sedana dll.ungkap Mk.Manik.

Sementara itu Bendesa Desa Adat Tegenan,Jero Ketut Wana Yasa dalam arahannya menyambut baik dan mengucapkan puji syukur pada Tuhan Yang Maha Esa karena atas kemurahan beliau dan kesadaran umat satu persatu duwen Ida Bhetara kembali,semoga ini sebagai awal yang baik untuk meningkatkan kesatuan dan persatuan,saya atas nama masyarakat mengapresiasi langkah Klian Banjar Adat Tegenan kelod yang telah menggali dan melestarikan seni budaya yang dirintis oleh leluhur kita yang patut kita hidupkan dan bangkitkan sesuai dresta dan tatanan budaya desa kala patra di Tegenan ini,kepada krama terimakasih atas dukungan dan semangatnya melestarikan budaya leluhur,terimakasih pungkasnya.(Manixs)

                                                      Prosesi Pemendakan Wayang







                                                                          Mendak wayang

Klian Br.Adat Tegenan Kelod dalam penyampaian sejarah wayang

Jero Mk.Dalem dan Jero Dalang Sujata dalam piodalan wayang

Mereresik



Mk.Dalang menjalankan prosesi piodalan wayang

Bendesa I Ketut Wana Yasa saat memberikan arahan,  Klian Br.Adat ngetas peras sebagai upacara selesai




Minggu, 03 Agustus 2025

Menyambut HUT RI ke-80, Ala Klian Subak Lipang: Merdeka di Sawah, Merdeka Dalam Hati

Di tengah sengatan matahari yang memantul di atas lumpur basah sawah Lipang, seorang lelaki paruh baya bertubuh mungil ,berdiri dibelakang traktor—bukan sembarang petani, dia Klian Subak Lipang: Guru Wayan Megeng. Di punggung traktor bajaknya, berkibar Sang Merah Putih, yang Ia kibarkan di galah bambu traktornya, bendera itu bukan sekadar lambang—tapi wujud harapan, doa, dan rasa cinta tanah air yang tak bisa dibeli.

Guru Megeng Menyambut Merdeka di Hamparan Sawah Subak Lipang

"Inilah merdekaku," katanya lirih, sembari menyeka peluh.
Merdeka untuk mengolah tanah, merdeka berkumpul dalam Subak, merdeka memanfaatkan air—anugerah yang kini perlahan lebih dihargai oleh negara.

Ya, pemerintah katanya kini hadir.
Lewat Menteri Pertanian, petani dikabarkan dapat pupuk langsung, tanpa perantara.
"Kalau ada yang main curang, lapor langsung ke saya!" begitu kata Pak Menteri, penuh semangat membela petani.

Namun di hilir didesa petani kecil kenyataan,
Pupuk masih mahal menambah penderitaan,
Masih juga berjatah untuk mendapatkan,
Harga gabah tak sebanding dengan lelah ,
Bibit padi beli online, tertipu iklan manis penuh kisah:
Tak tumbuh, tak berkecambah tak juga berkah,
Tinggal kecewa yang mengakar di dada yang pasrah.

"Merdeka... astungkara," tawa Guru Megeng terdengar getir.
"Daripada dijajah Belanda dan Jepang dulu, sekarang kita dijajah teknologi dan janji modernisasi."
Tawanya bukan cemooh, melainkan satire:
Senyum seorang petani yang masih menunggu arti sejati dari “kemerdekaan”.

Tahun ke-80 Indonesia merdeka nan gagah,
Guru Megeng tetap di sawah tak kenal payah,
Dengan bajak dan traktor, dibarengi langkah semakin lelah,
Dengan harap dan doa sepanjang cita melangkah,
Dengan bendera kecil di ujung galah yang tak lagi bertuah:
"Dirgahayu Indonesiaku. Aku menunggu rasa merdekamu,tuk hapuskan lelahku..."
(manixs,040825)

Minggu, 20 April 2025

ST WERDHI SESANA MENGABDI DAN BERBAGI

Tanggal 31 Desember 1985 dibentuklah Muda Mudi Eka Werdhi oleh I Wayan Suiji sekaligus terpilih sebagai ketua Muda Mudi pertama kalinya dibina oleh Jero Mk.Suketisna(alm) bertempat di Bale Pesanekan Dadia Ibu Kanginan,kiprah seka teruna saat itu membantu  dalam bidang adat,budaya dan keagamaan dan kegiatan yang paling berkesan adalah diadakan lomba penjor tanggal 21 Agustus 1985 karena tidak ada orang memenjor pada masa itu . Lomba yang dilaksanakan saat galungan itu sebagai juaranya adalah I Wayan Nurata (I),I Wayan Sudarpa(alm) (II) dan I Wayan Gunantra(alm)(III),sejak itulah warga masyarakat Tegenan kelod mulai memasang penjor setiap hari raya galungan sampai sekarang. Selanjutnya tahun 1989 Wayan Suiji  terpilih sebagai Ketua KNPI Kecamatan Rendang dan beberapa oraganisasi kepemudaan,seperti Ketua Forum Komunikasi Karang Taruna,Pemuda Pancasila, kasgoro,sekretaris HKTI Kabupaten Karangasem,maka jabatan ketua muda mudi digantikan oleh Drs.I Made Sugama yang tinggal di Denpasar,sehingga  organisasi menjadi fakum cukup lama. Lanjut sekitar tahun 2008 dibangkitkan kembali muda mudi terpilih sebagai ketuanya adalah I Made Mustapa sekaligus sebagai inisiator didampingi oleh klian banjar Adat Kelodan dan nama Muda-Mudi Eka Werdhi kemudian diubah menjadi ST.Werdhi Sesana ,Mustapa kemudian menikah selanjutnya diganti oleh I Wayan Teguh Pramarta,kemudian menikah juga dan 31 Desember 2024 digantikan oleh I Wayan Puspa Yoga,S.Pt.

Yoga yang seorang alumni Fapet Unud dengan gelar Sarjana Peternakan,bersama timnya Putu Satya,Surya Adnyani,Revi,Bombom dan yang lainnya minggu kemarin 20 April 2025 menggelar pengabdian berupa ngayah mereresik di Pura kahyangan Tiga dan Kahyangan Desa,Desa Adat Tegenan khususnya di Banjar Adat Tegenan Kelod.Pura yang disasar adalah Pura Dalem Putra,Pura Rajapati,Pura tulak Tanggul dan Pura Manik Harum. Hal ini kami anggap penting dilakukan terutama dalam menyambut hari raya galungan dan Kuningan,kita sebagai generasi penerus harus bisa mewarisi tradisi leluhur agar kita terbiasa ketika kita sudah berumah tangga nantinya,kegiatan ini sekaligus mengimplementasikan ajaran Tri Hita Karana khususnya Palemahan dan Parhyangan karena kita melakukan di Pura. Selesai kegiatan mereresik ,dana yang kami sudah berhasil kumpulkan  melalui para donatur seperti KSP.Mekar Sari,UD.Sukma Tani,Cinang Tani,LA dan lainnya termasuk kami menggali dana lewat pembuatan pakaian seragam wajib kepada anggota. Oleh karena itu dalam rangka menyambut hari raya ,dana tersebut sebagian kami sumbangkan dalam bentuk sembako kepada para janda janda jompo,orang yang sakit sebagai wujud keprihatinan dan kami ikut mensufort beliau beliau itu, walaupun bantuan kami relatif kecil,semoga bermanfaat dan beliau bisa berbahagia dalam menyambut galungan ini,semua itu adalah bentuk implementasi bidang Pawongan atau gerakan sosial bagi ST.Werdhi Sesana,semoga sumbangsih kami anak anak muda Br.Adat Tegenan Kelod turut mendukung program Banjar Adat dan Desa Adat,ungkap Yoga.

Sementara itu salah seorang anggota Seka Teruna I Made Andika Gustama sekaligus anggota Polsek Rendang,sebagai polisi ia berharap agar anak muda khususnya anggota ST.Werdhi Sesana dalam momen hari raya ini agar disambut dengan suka cita,tetapi tidak berlebihan seperti mabuk mabukan, kebut-kebutan,prilaku premanisme, merokok berat apalagi bersentuhan dengan narkoba,usahakan jauhi semua itu agar kita tidak tersandung hukum. Saya amati teman teman kita disini khususnya anggota ST,masih baik baik saja dan normal apa adanya,mari kita jaga bersama kondusifitas ini,biar banjar dan desa kita aman tentram bisa melakukan aktivitas dengan nyaman,harapnya.

Disisi lain I Wayan Suiji sebagai pendiri sekaligus secara exopesio sebagai pembina ST karena sebagai Klian Banjar Adat Tegenan Kelod,sebagai orang tua sangat menginginkan kesatuan dan persatuan anak-anak remaja Banjar Adat Tegenan Kelod,semuanya agar masuk dalam wadah organisasi kepemudaan ST ini dari Usia kelas 9 keatas hingga belum menikah. Para orang tua/krama banjar tyang harapkan bisa  mendorong anak-anaknya yang malas tedun ,untuk bisa hadir melakukan kegiatan sesuai program ST. Kepada orang tua,krama Banjar Adat Tegenan Kelod mari dukung anak anak kita,dorong ia hadir setiap kegiatan,dorong dia untuk mendapatkan sekolah atau pendidikan yang setinggi tingginya agar mereka memiliki kompetensi yang kuat,sebab seperti jargon banjar Adat Tegenan "Widya Kertha Mandala" artinya dengan pendidikan akan terwujud lingkungan yang sejahtra,pungkas Suiji (manixs).

"Ngayah"   program yang patut dilestarikan


Aktivitas pembagian sembako oleh ST Werdhi Sesana.

Rapat kecil membahas pengaturan penyebaran sembako

Pengurus ST.dari kiri Bombom,Yoga,Satya dan  

Yoga,ketua ST.membagikan sembako kepada Dadong Ketil janda Ny.Ketil

Pengurus memberikan smbako kepada Guru Tresna (tua /sakit)

Sembako diberikan kepada Mk.Widi (janda ditinggal mati)

Sembako diberikan kepada Ni Wayan Suiji janda sakit

Baliho ST,SELAMAT HARI RAYA GALUNGAN DAN KUNINGAN




Selasa, 07 Januari 2025

"MEBASEH LIMA" TRADISI DASAR PEWINTENAN DI TEGENAN

Desa Adat Tegenan yang terletak di kaki G.Agung bagian Barat Daya,merupakan desa pregunung karena sebagai wilayah kawasan suci mandala Besakih,sehingga setiap rentetan kegiatan Panca yadnya ada konektivitasnya dengan kesucian Pura Besakih, seperti upacara pitra yadnya tidak boleh membakar mayat ,dalam Dewa Yadnya tidak boleh melaksanakan upacara piodalan bersamaan dengan upacara Pr.Besakih yakni Purnama Kedasa dan sebagainya. Dalam hal upacara Rsi Yadnya ada prosesi penyucian diri yang dikenal dengan istilah Mebaseh Lima arti leksikalnya mencuci tangan yang mengandung makna pembersihan diri yang biasanya dilaksanakan sebelum melakukan pewintenan eka jati untuk pemangku ,yaitu prosesi ngutang mala di toya sah dengan melakukan prosesi pelukatan dan mandi di Sungai Esah .

Demikian halnya yang dilaksanakan hari ini nemonin rahina Buda Klion Ugu tanggal 08 Januari 2025 dilaksanakan prosesi mebaseh lima oleh I Wayan Sulaba Yasa beserta keluarga karena terpilih oleh niskala sebagai pemangku kahyangan tiga di Pura Dalem Putra . Diawali dengan upacara mepiuning di sanggah tua,di Dadia dan Kahyangan Tiga Mawinten  biasanya dilaksanakan untuk mohon wara nugraha sebelum mempelajari ilmu keagaamaan. Selain itu, juga sebagai peningkatan kesucian diri.



Dikatakannya, upacara Pawintenan atau Mawinten merupakan upacara yang beragam. Mulai dari  Pawintenan Ngadat,  pemangku, dan pelajar.  “Jika Pawintenan seorang pemangku dari walaka menjadi eka jati. Sedangkan Pawintenan Saraswati merupakan Pawintenan yang dilakukan oleh pelajar, supaya bisa mempelajari ilmu tentang keagamaan,” terang pria 57 tahun tersebut.



Pinandita Pasek Swastika mengatakan, Mawinten berasal dari kata winten, yaitu nama sebuah permata yang memiliki sifat yang mulia. Tujuan dari pelaksanaan upacara ini  sebagai penyucian diri secara lahir dan batin. Jika dilihat secara lahir bertujuan untuk menyucikan seseorang dari segala mala (kotor). Sedangkan secara batin, lanjutnya, untuk memohon penyucian dari Ida Sang Hyang Widi Wasa.
Ia mengungkapkan bahwa Pawintenan Saraswati dilaksanakan supaya diberikan wara nugraha, terlebih dalam mempelajari ilmu yang suci. Untuk nantinya  dapat mengamalkan ajaran-ajaran suci tersebut untuk dirinya maupun orang lain. “Ketika sudah melaksanakan Pawintenan Saraswati, jika seseorang akan menjadi pemangku selanjutnya juga harus ikut Pawintenan Pemangku. Baik itu pawintenan mangku alit, pawintenan mangku gede, baru pawintenan wiwa. Setelah itu, bhawati, kemudian baru didiksa,” urainya kepada Bali Express (Jawa Pos Group) di Ashram Sari Taman Beji, Canggu, Badung, pekan kemarin.



Dikatakannya, sebelum Mawinten seseorang harus melaksanakan upacara Pangidep Hati. Di mana dalam upacara tersebut dimaksudkan agar selanjutnya mendapatkan tuntunan yang lebih baik. Untuk seseorang yang melaksanakan Pangidep Hati ini, lanjutnya,  minimal yang bersangkutan sudah tanggal gigi pertama.  Diakuinya, tujuan dari pelaksanaan Pawintenan merupakan tujuan hidup seseorang. Dijelaskannya,   berdasarkan Kitab Suci Rasaccamucaya sloka 6.80  berbunyi : Apan ikang manah ngaranya, ya ika witning indriya, Maprawrtti ta ya ring subha subha karma, matangnyan ikang manah juga prihen kahrtanya sakarang. Maksudnya, sebab pikiran itu namanya sumbernya indriya, ialah yang menggerakkan perbuatan baik buruk itu. Karena itu pikirkanlah yang patut segera diusahakan pengendaliannya.