Di tengah sengatan matahari yang memantul di atas lumpur basah sawah Lipang, seorang lelaki paruh baya bertubuh mungil ,berdiri dibelakang traktor—bukan sembarang petani, dia Klian Subak Lipang: Guru Wayan Megeng. Di punggung traktor bajaknya, berkibar Sang Merah Putih, yang Ia kibarkan di galah bambu traktornya, bendera itu bukan sekadar lambang—tapi wujud harapan, doa, dan rasa cinta tanah air yang tak bisa dibeli.
Guru Megeng Menyambut Merdeka di Hamparan Sawah Subak Lipang
"Inilah merdekaku," katanya lirih, sembari menyeka peluh.
Merdeka untuk mengolah tanah, merdeka berkumpul dalam Subak, merdeka memanfaatkan air—anugerah yang kini perlahan lebih dihargai oleh negara.
Ya, pemerintah katanya kini hadir.
Lewat Menteri Pertanian, petani dikabarkan dapat pupuk langsung, tanpa perantara.
"Kalau ada yang main curang, lapor langsung ke saya!" begitu kata Pak Menteri, penuh semangat membela petani.
Namun di hilir didesa petani kecil kenyataan,
Pupuk masih mahal menambah penderitaan,
Masih juga berjatah untuk mendapatkan,
Harga gabah tak sebanding dengan lelah ,
Bibit padi beli online, tertipu iklan manis penuh kisah:
Tak tumbuh, tak berkecambah tak juga berkah,
Tinggal kecewa yang mengakar di dada yang pasrah.
"Merdeka... astungkara," tawa Guru Megeng terdengar getir.
"Daripada dijajah Belanda dan Jepang dulu, sekarang kita dijajah teknologi dan janji modernisasi."
Tawanya bukan cemooh, melainkan satire:
Senyum seorang petani yang masih menunggu arti sejati dari “kemerdekaan”.
Tahun ke-80 Indonesia merdeka nan gagah,
Guru Megeng tetap di sawah tak kenal payah,
Dengan bajak dan traktor, dibarengi langkah semakin lelah,
Dengan harap dan doa sepanjang cita melangkah,
Dengan bendera kecil di ujung galah yang tak lagi bertuah:
"Dirgahayu Indonesiaku. Aku menunggu rasa merdekamu,tuk hapuskan lelahku..."
(manixs,040825)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar