Senin, 26 Juni 2017

MISTERI SINAR BIRU POHON GENITRI(RUDRAKSHA) DI PURA SUCI MANIK GNI



Genitri (geni; api,Tri;tiga ,Genitri = tiga sinar yang muncul dari Tri Netra Dewa Siva) kalau di India disebut  Rudraksha(air mata Siva),    merupakan tanaman spiritual memiliki khasiat luar biasa. Sesuai mitologinya Tuhan tertinggi Paramahashiva perlu bertapa 1.000 tahun dewa, untuk menciptakan tanaman yang penuh berkah ini. Rudraksha ini sangat dimuliakan penyembah Shiva.
Pemuja Shiva jika tidak menggunakan rudraksha maka terasa ada yang masih kurang dalam proses persembahyangannya. Bukan saja sadhaka, seorang bhakta, para sulinggih Shiva, saat sebagai sang yajamana mamuput karya mamuput karya menggunakan genitri dari mulai kepala, kuping, badan, termasuk pinggang. Genitri dipergunakan sebagai japa untuk Umat Hindu. Selain itu biji ganitri juga dimanfaatkan berbagai macam obat terutama di India, Nepal dan Cina. Sedangkan di Bali sendiri di apresiasikan terhadap rudraksha ini sudah cukup memasyarakat.
Rudraksha terbentuk dari dua kata, “Rudra” dan “Aksha”.Rudra adalah nama lain dari Dewa Shiva, dan Aksha berarti air mata. Dikatakan bahwa tumbuhan Rudraksha berasal dari air mata Dewa Shiva. Dewa Shiva atau Rudra dikenal sebagai Dewa berkekuatan melebur dalam kaitan dengan dengan aspek Tuhan sebagai pencipta, pemelihara, dan pelebur (Tri Murti). Shiva juga berkaitan dengan keadaan saat meditasi ketika pikiran kosong jernih,  yang ada sunyi dan sepi tenang.
Terdapat beragam cerita yang berkaitan dengan asal muasal Rudraksha dalam berbagai purana. Naskah Weda seperti Sjiva Purana, Padma Purana, Srimad Bhagwata, Rudraksha Jabbalaopanishad, Mantra Maharnawa,dsb menyebutkan keagungan dan betapa hebatnya Rudraksha.
Dikisahkan bahwa Dewa Shiva memasuki alam meditasi dalam rentang waktu yang panjang demi umat manusia. Ketika akhirnya bangkit dari meditasi-Nya itu, lalu membuka mata, ia merasakan kebahagiaan, damai, dan rasa cinta kasih mendalam. Oleh perasaan itu, Beliau menitikkan air mata, yang perlahan melewati pipi-Nya lalu jatuh ke bumi. Setiap tetes air mata Shiva pun menjelma menjadi pohon Rudraksha yang buah kecilnya memiliki esensi yang sama dengan air mata Rudra, Tuhan Yang Mahakuasa. Oleh karena itu, Para pemuja Shiva dapat merasakan wujud Shiva, Shiva-Parwati, Lingga Shiva dalam Rudraksha.
Pohon Genitri/Rudraksha tumbuh di beberapa tempat di dunia termasuk di pegunungan Himalaya di India dan Nepal, seperti halnya di beberapa wilayah di Indonesia. Buah Rudraksha beraneka ragam besarnya (3 – 40 mm, 1/8 inci sampai 1,5 inci). Nama latin Rudraksha adalah “Elaeocarpus Granitrus”. Kulitnya yang, lembut berwarna biru terang, dan daging buahnya seperti anggur hijau. Di dalamnya terdapat biji tunggal yang memiliki permukaan kasar dan sebuah lubang tembus dari atas dan ke bawah. Biji inilah yang disebut dengan rudraksha yang selanjutnya digunakan sebagai Japa Mala oleh para penekun spiritual.
Biji Genitri/Rudraksha memiliki garis yang bernama mukha ‘cekungan’ atau dalam bahasa bali biasanya disebut juring yang berbeda-beda satu sama lain. Menurut naskah, jumlah mukha pada bijinya beragam dari 1 sampai 38, namun yang biasa digunakan untuk kepentingan astrologi adalah yang bermuka I sampai 14. Biji Rudraksha yang memiliki satu mukha disebut eka-mukha, jika dua disebut dwi mukha, demikian seterusnya. Setiap biji memiliki efek berbeda-beda tergantung berapa mukha yang dimilikinya. Setiap Rudraksha memiliki keunggulan tersendiri dan untuk mendapatkan kegunaannya secara maksimal, harus disesuaikan secara teliti dengan horoskop pemakainya.
Rudraksha/Genitri telah diberikan penghargaan khusus dan dipercaya sebagai perlengkapan untuk tujuan yang berbau mistik dan religious. Biji Rudraksha dikatakan mengandung rahasia mengenai segala evolusi kosmos. Dalam Weda disebutkan bahwa Rudraksha dapat mengurangi kekuatan sifat-sifat jahat di planet ini. Banyak naskah mengatakan Rudraksha dengan mukha berapapun tidak akan pernah menyakiti pemakainya tidak seperti Navratna yang harus dipilih dengan hati-hati. Tidak ada kalung atau japa mala sebaik dan sehebat Rudaraksa. Dipercaya bahwa siapa yang memakai Rudraksha dia dapat terhindar dari perbuatan berdosa. Orang yang memakainya akan dijauhkan dari pikiran dan perbuatan berdosa walaupun tanpa sembahyang dan mengucap mantra suci.
Sesungguhnya seseorang yang memakai Genitri/Rudraksha dengan cara yang benar akan merasakan energy Shiva dan dengan sendirinya pikiran negative dan emosi akan terlebur. Rudraksha memiliki efek menenangkan pusat sistem saraf. Dikatakan pula Rudraksha membantu menjaga tekanan darah tetap stabil dan menjaga kesehatan. Tidak ada efek buruknya, melainkan Rudraksha mendamaikan pikiran dan memberi kenyamanan pada pemakainya. Dalam naskah-naskah kuno (Padma Purana, Shiva Purana, Mantramaharnava, Rudrajabalopanishad) diterangkan bahwa jika seseorang memakai rudraksha pada saat ia menemui kematiannya, ia akan dibebaskan dari lingkaran hidup dan mati (reinkarnasi) dan mengalami moksha (kelepasan).
Demikian pula halnya dengan keberadaan pohon Rudraksha/Genitri yang ada di Pura Suci Manik Gni memiliki riwayat yang sakral karena ketika tahun 1963 usai Gunung Agung meletus pohon ini diperkirakan mulai tumbuh sebab tahun 1968 tingginya mencapai 4 meteran dengan diameter sekitar 18 cm,ketika itu ada kejadian aneh karena waktu itu masih berupa ladang,maunya pohon itu di tebang,tetapi ketika parang sudah diayunkan beberapa kali tiba-tiba Guru km.Suiji (alm.penebang pohon) perutnya tiba-tiba sakit keras sehingga batal menebang pohon itu,ia langsung pulang namun penyakitnya makin menjadi, akhirnya mohon petunjuk pada balian dan adalah sabda/petunjuk bahwa kayu tersebut tidak boleh di tebang, karena sebagai teropongnya Ida Bhetara Lingsir ring Besakih/Gunung Agung,karena dilokasi ini sekaligus tempat Pesucian Ida Bhetara Kabeh ring Besakih ketika melasti ke Tegal Suci Tegenan.
Kayu tersebut memang akhirnya tumbuh menyerupai teropong karena ada dua batang cabang menyatu membentuk sebuah lubang. Dari petunjuk itu diberikan air suci,begitu dipercikan sakitnya langsung hilang,maka percaya tak percaya kayu itu tak berani diutak atik. Kemudian pada hari-hari raya suci tertentu sering orang melihat ada sinar biru dari pohon itu yang ujungnya menembus langit dan kejadian magis lainnya.
Tahun 1990 saya mulai tinggal sekitar tempat itu,namun banyak kejadian diluar nalar terjadi,namun tetap kami jaga kesuciannya sehingga dibuatkan pelinggih kecil. Akhirnya tahun 2002 ada kejadian kerauhan masal dan langsung beliau sesuhunan Pr.Dalem Suci dll. Tedun ke lokasi Tegal Suci diiringi dengan seluruh krama,maka diberilah petunjuk harus dibangun pura lengkap dengan penyengkernya dan pohon genitri itu diupacarakan/dipetik dan dilinggastanakan Ida Bhetara Banda Siva dan puranya diberi nama Pura Suci Manik Gni.(Manixs).
  
Pohon Genitri/Rudraksha di Pr.Suci Manik Gni

                  Pangkal pohon Rudraksha/Genitri yang dijaga/distanakan patung Ida Dewi Anjani
                                  Bekas mau ditebang dulu, kini jadi bentuk yang sangat unik.
 
    Cabang yang menyatu mirip seperti lubang/ "teropong niskala"  Ida Betara Lingsir Gunung    
                                      Agung,Besakih (menurut petunjuk niskala)
Pura Suci Manik Gni tempat Pohon Rudraksha/Genitri yang disakralkan.

Selasa, 20 Juni 2017

MITOLOGI PURA PEKANDELAN DESA PAKRAMAN TEGENAN



Desa Pakraman Tegenan yang merupakan teritotorial kawa-san suci Pura Besakih dan merupakan salah satu Desa Pre-gunung yang diberi kewajiban ‘mundut’ Ida Betara Dalem Puri Besakih,memiliki historis yang sangat religius, lebih lebih merupakan salah satu  desa sebagai lawangan Agung Pura Besakih bagian Pascima/barat, disamping Desa Pakraman Batusesa sebagai gerbang/ lawangan Purwa/Timur. Desa ini terdiri dari Br.Tegenan Kaja dan Br. Tegenan Kelod yang dulunya dikenal sebagai Tegenan Desa, sebagai pusat permukiman pada zaman dahulu, sekitar abad ke 18 terbukti dengan adanya Pura Kahyangan Tiga dan setra, kemudian dengan batas utaranya di Pangkung Cinang sebagai tanggun desa utara ketika mengadakan upacara pecaruan sasih pitu kulu dan Pr.Pekandelan sebagai benteng(pekandel) utaranya dan margi tiga batas selatan serta Pr.Tulak Tanggul sebagai benteng selatannya. Kemudian seiring perkembangan zaman maka sekitar akhir abad 20 mulailah penduduk pindah kewilayah utara,sehingga pembangunan permukiman mulai bergeliat menuju pinggir jalan. Kesadaran masyarakat akan peningkatan harkat hidupnya mulai kelihatan,baik dalam pembangunan Parhyangan ,Pawongan dan Palemahan,baik secara sekala dan niskala.
Petunjuk niskala yang menghebohkan terjadi pada sasih Kesanga hingga Kedasa bulan Maret dan April 2002 sembilan orang krama ‘kerauhan’ natak wecanan Ida Betara-Betari sesuhunan, agar kehidupan beragama dan bermasyarakat dikelola dan ditata dengan baik melalui pembangunan dan penataan pura, pura yang belum mendapat perhatian antara lain Pura Taru Petak,Tegal Saab, Pura Manik Gni,Pura Pekandelan,Pura Gua Gala Gala,Pura Pucak Sari,Pura Tulak Tanggul, Pangkung Cinang dll.
Sesuai petunjuk niskala(kerauhan) waktu itu, agar Pura Pekandelan yang dulu sudah pernah ada ‘bebaturan’tahun 1963 hancur karena bencana gunung agung meletus (buktinya setiap ada upacara ngaben habis ngayehang sekah lewat disana pasti ada upacara mamitang ),pura itu harus segera dibangun karena disana stana Ratu Gde Pekandel  benteng kekuatan Desa Tegenan.
Ada kejadian unik waktu itu,saya sebagai Klian Banjar Adat Tegenan Kelod natak penikan Ida Sesuunan belum sempat membuatkan pelinggih, suatu ketika melintas di areal pekandelan membawa cary pic up sampai di selatan kunci mobil yang sedang jalan hilang,setelah dicari di mobil kemudian di jalan tidak ketemu,setelah mesesangi /janji untuk mendirikan akhirnya ketemu di tikungan pekandelan pada hal di dek bawah tidak ada lubang,mustahil meloncat. Akhirnya segera saya ngaturang pelinggih PC dan mendirikan disana seijin Beli Km Darma sebagai pemilik tanah sejak April 2002.
Lanjut atas bantuannya tanggal 24 April 2017 mulai didirikan Pura Pekandelan yang dipelaspas hari ini Sukra Wage Uye 23 juni 2017 dengan sumber dana :
1.        BKK Provinsi Bali th.2017                        : Rp.11.500.000,-*)
2.        Punia dari krama Br.Kaleran                   : Rp.  2.050.000,-
3.        Krama Br.Adat Kelodan                          : Rp  .6.570.000,-
4.        Kelompok Organisasi                               : Rp.  2.800.000,-
5.        Beberapa krama dura/luar desa             : Rp.     260.000,-.
6.        Kas Desa Pakraman                               : Rp.  6.069.000,-*)
Pengeluaran:
a.        Beli Bataran gedong dari Batu                : Rp.  5.000.000,-
b.        Beli Gedong pd.guru Megeng                 : Rp  .4.500.000,-
c.        Beli 2 patung +transport                          : Rp.  1.000.000,-
d.        Biaya tembok penyengker                       : Rp.15.950.000,-
e.        Pembelian babi,busana,ulam, pglm,pdg,dll-: Rp.   1.500.000,-
f.         Biaya buruh persiapan,banten,snek dll    : Rp.      749.000,-
g.        Batu sikat pada Yan Dana                       : Rp.      550.000,-
Jumlah Pengeluaran/masuk               : Rp.29.249.000,-

*) dana yang masih ditalangi oleh Koperasi Mekar Sari & LPD.
Sedangkan banten mlaspas,caru dan mungkah : pesuan Krama Kelodan.


FUNGSI PURA PEKANDELAN
            Menurut petunjuk beliau pada saat itu (2002) bahwa yang distanakan disana adalah Ratu Gde Pekandel ,beliau adalah rencang Ida Betari Dalem Rajapati yang bertugas menjaga benteng kekuatan Desa Tegenan bagian utara dan Ratu Gde Tulak Tanggul (Sanghyang Suratma) menjaga benteng selatan oleh karenanya pada saat upacara Pitra Yadnya sanghyang atma/sekah yang selesai disucikan ke beji campuan di kedua tempat ini wajib diadakan upacara mamitang oleh karenanya betapa pentingnya kedua pura ini bagi kita semua,sebab bagaimanapun kita, setelah jadi atma untuk diabenkan akan dipujakan di pura ini.
            Disisi lain Ratu Gde Pekandel sesuai sabda beliau juga sebagai rencang Betara Sangkara/ Sang Hyang Sengawa Gumi oleh karena itu di Pura ini juga difungsikan sebagai tempat melaksanakan upacara Mungkah/ngendagin dan amaluku sebagai awal melakukan aktivitas/peker-jaan di gaga/tegalan.
Menurut Lontar Sarining Dharma pemaculan yang disarikan dari lontar milik Gria Pidada Karang-asem,Gria Intaran Delod Pasar Sanur, Perpus-takaan Lontar Gedong Kertya Singaraja, Yayasan Dharma Sastra, Perpustakaan Lontar Pusdok Kebudayaan Bali bahwa upacara mungkah gaga bantennya adalah sebagai berikut:
Ø  Canang lengawangi burat wangi,medaging Woh-wohan,Base,don selasih,kembang pa-yas mewadah tamas busung/ntal, katur ring Betara Sangkara (Ong Bhetara Sangkara, Sangkara wastu ya nama swaha)
ü  Tamas ental/busung medasar kasa putih masusun woh-wohan,sanganan,sekar  sar-wa petak,nasi kepelan putih 5 kepel ,mesawen/pepuun carang pucuk putih katur ring Sanghyang Iswara Guru.
ü  Kelengkapan banten/acara lainnya  disesu-aikan dengan tradisi setempat.
Dalam  rangkaian  upacara mungkah di Pr.Pekandelan hendaknya sejalan dengan   tatanan Sad Kertih dapat dijelaskan sebagai berikut :
ü  Pertama: Atman Kertih(penyucian jiwa)   setiap bentuk yadnya perlu dilakukan dalam penyesuaian pola hubungan antara parahyangan , palemahan dan pawongan harus menyatu dalam satu  keyakinan yang seimbang (Tri Hita Karana).
ü  Kedua : Jana Ketih, jiwa dan kesadaran yang menyatu dengan alam lingkungan (pawongan)
ü  Ketiga: Wana Kertih,   penyucian dan pelestarian hutan/tumbuhan
ü  Keempat : Danu Kertih . penyucian dan meme-lihara kwalitas air
ü  Kelima: Segara Kertih. Memelihara ekosistem dan mengurangi penggunaan pestisida lebih menggunakan  pupuk alami Mikroba Olah Lokal di desa sekitarnya.
ü  Keenam: Jagat Kertih. Makna “jagat” disini adalah semesta baik dalam wilayah kesadaran parahyangan, palemahan atau pawongan. Terpeliharanya alam lingkungan yang seimbang akan terjadi jika pola kehidupan manusia masih menjalankan dan meyakini kelima kertih di atas.
Mari tegen dan lestarikan budaya leluhur yang adiluhung dan tinggalkan budaya yang kurang baik demi kelangsungan anak cucu kita.(manixs).



Pelinggih saat sebelum dipugar
 Ngingsirang Ida Betara sebelum dipugar oleh Jero Lingsir Mk.Md.Sedana spiritualis supranatural yang sudah pakar di dunia ghoib dengan berbagai pengalaman spiritual,meditasi di pura-pura sepelosok nusantara.
 
Mendem dasar pelinggih oleh Ketua Panitia atas petunjuk 
penglingsir spiritual Pasraman Giri Candi Kusuma
Mk.Ayu Manik dan krama sekitar melakukan persembahyangan tiap sore selama Ida Bhetara nyejer dari tanggal 24 April 2017 hingga upacara pemlaspasan 23 Juni 2017
 
Pendirikan gedong oleh pemborong CV.Megeng Jaya Abadi
                                   Kru pengayah yang aktif membantu kegiatan pembangunan pura
                                                      Penataan taman menjelang finishing
                   Mk Dalang Sujata perancang dan penataan taman sponsor pembuatan tulisan pura
                                         Pembangunan pura finish 100%,21 Juni 2017

 Persiapan sebelum upacara mlaspas
 Upacara Mlaspas yang dihadiri oleh seluruh krama Banjar Kelod
Prejuru Desa,Pemangku,Serati,WHDI dan Pecalang serta pengiring sesuunan 2002
Jero Dewi,I Wayan Tana,I Nym.Punduh,Nym.Reguna,Md.Kembar,Pt.Tunjung.
 Nedunang dan ngelinggihang Ida ratu Gde Pekandel oleh pengiring 2002
 Upacara Mlaspas oleh JM Md.Sedana,Mungkah oleh JM Kt.Kania
 Pengantar acara oleh Penyarikan Desa (I Ketut Wana Yasa,A.Md.Par)
 Laporan pemungutan punia oleh Sekretaris Panitia Ni Kadek Ririn Susanti,S.Pd.
 Penyerahan Surat Perjanjian pemberian luput nyayahin dan tedun istrine
 oleh Bendesa kepada I Komang Darma(Pemilik Tanah) sebagai konpensasi lokasi pura
disaksikan Klian Br.Adat Tegenan Kelod dan Ketua Paguyuban Pemangku DK.DP.Tegenan
 Mendem caru dan upacara Mungkah sebagai tanda dimulainya 
mengolah tanah di gaga/tegalan,untuk mohon kesuburan dan keberkahan.
Malam 2 hari setelah di plaspas
 Upacara ngelemekin 3 hari setelah ngelinggihang (26-6-20170
 Upacara ngetelunin dengan bakti pejati dan tipat blayag
 Pemangku penganteb : Mangku Ketut Kania
 Lantunan gegitaan mengiringi upacara oleh bibi Megeng,Bibi Karmiasih dan Bibi Pandi Arini
 Nunas lungsuran sebagai wujud syukur atas selesainya rangkaian upacara
 Mk.Dalem sedang menyaksikan acara nunas lungsuran bersama.
Pembangunan Pura Pekandelan di'plaspas' pada  Sukra Wage Uye bertepatan dengan tilem Sadha tanggal 23 Juni 2017 pas Matahari berada di garis balik utara lintang 23,5 derajat ,semoga dengan hari baik mendatangkan kebaikan, kerahayuan di bumi pertiwi Tegenan pregunung vilage,astungkara.(by. Mangku Manik Puspa Yoga)



Panitia Pelaksana  :
1.Penanggungjawab : I Md.Sedana (Bendesa Desa Pakraman Tegenan)
2.Ketua                 : I Wayan Suiji (Klian Br.Adat Tegenan Kelod)
3.Sekretaris           : Ni Kadek Ririn Susanti,S.Pd (Ketua WHDI Desa Pakraman Tegenan)
4.Bendahara          : I Made Lanus (Kasir Kop.Mekar Sari)
5.Seksi-seksi;
  a.Pelaporan          : I Ketut Wana Yasa (Penyarikan Desa Pakraman Tegenan)
  b.Penataan           : Mk.Dalang Sujata (Seniman Lukis dan Dalang pengiring di Pr.Dalem)
                                I Wayan Kariana,S.Pd,S.Sos (Klian Subak Abian Pucak Manik)
  c.Penggalian Dana;
1.      Luh Meradi (Ketua KWT.Mekar Wangi/Kasir LPD)
2.      I Wayan Samah(Pegawai LPD)
3.      Mangku Krisna(Pemangku Dalem Suci)
4.      I Gde Adnyana (Tokoh masyarakat)
5.      I Made Mustapa (Klian Br.Dinas Tegenan)
6.      Guru Wayan Megeng (Pecalang)
7.      Guru Wayan Sandiarta(Klian Dadia Ps.Celagi)
        d.Tanah lokasi : I Komang Darma (donatur)
        e.Upakara/banten : Ni Md.Karmiasih (Ketua Paguyuban Serati Banten Bakti Jnana DP.Tegenan)
     6.Penasehat :
        1. Jero Wayan Degeng (Ketua Paguyuban Pinandita Dharma Kerthi DP.Tegenan)
        2. Mk.Wayan Sudiana (Ketua Kerta Desa DP.Tegenan)
        3. Mk.Wayan Kunci Wirawan (Klian Br.Adat Tegenan Kaler)